Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Konsep Ketuhanan |
---|
Enam agama utama |
Agama lainnya |
Lain-lain |
Ketuhanan dalam Buddhisme tidak berdasarkan kepada suatu Tuhan personal Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pali: issara; Sanskerta: īśvara).[1] Sang Buddha menyatakan bahwa pandangan tersebut merupakan suatu pandangan salah (micchādiṭṭhi) yang harus dihindari, dan menyampaikan pernyataan yang mirip seperti masalah kejahatan dalam filsafat agama. Meskipun Buddhisme meyakini eksistensi makhluk-makhluk di alam yang lebih tinggi, seperti dewa dan brahma, mereka tidak diyakini sebagai Tuhan.
Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Tuhan. Fungsi dari kemunculan seorang Buddha adalah untuk menemukan kembali ajaran yang telah hilang, yang kemudian disebut sebagai Dhamma.[2] Buddha diyakini sebagai guru agung umat Buddha yang telah menemukan Dhamma, bukan menciptakan Dhamma.[3] Setelah mengajarkan Dhamma, ajaran yang telah ditemukan-Nya, Beliau memutuskan untuk hanya memberi hormat kepada Dhamma dan bukan suatu makhluk apa pun.
Kitab-kitab komentar Buddhisme Theravāda merangkum daftar Niyāma ("Hukum Alam"), yaitu suatu hukum impersonal yang mengatur alam semesta dan bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Niyāma tersebut terdiri atas hukum keteraturan musim (utu), benih atau bibit (bīja), karma (kamma), kesadaran (citta), dan segala fenomena (dhamma). Daftar ini ditujukkan untuk menggambarkan cakupan universal hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda). Ledi Sayadaw menyatakan bahwa diperkenalkannya istilah "pañcaniyāma" dalam kitab komentar bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum karma, namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai tanggapan terhadap klaim teisme. Menurut Bhikkhu Sri Paññāvaro Mahāthera, dalam sebuah ceramah, hukum karma (kamma-niyāma) dianggap memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme.
Selain itu, beberapa ahli, seperti Cornelis Wowor, menyatakan bahwa Nirwana sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian digunakan sebagai dasar legal untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia tersebut. Dasar teks kitab suci yang digunakan berasal dari syair dalam Tatiyanibbāna Sutta (Udāna 8.3), yaitu "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" dengan makna:
Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat luhur yang disebut Brahmavihāra, yaitu cinta kasih (mettā), belas kasih (karuṇā), simpati (mudita), dan ketenangan (upekkhā).[4] Menurut Handaka Vijjānanda, sifat-sifat luhur ini dapat diinterpretasikan sebagai sifat-sifat Ketuhanan.
Di kesempatan lain, Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan cara kerja presisi dari hukum karma dan berbagai spekulasi tentang dunia (lokacintā), seperti asal-usul semesta, dengan menyatakan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai "hal yang tidak terpikirkan" (acinteyya) yang, jika dipikirkan, dapat menghasilkan kegilaan atau frustrasi. Selain itu, Buddha juga menjelaskan Nirwana sebagai "hal yang berada di luar jangkauan nalar" (atakkāvacara) karena sulit untuk dipahami dengan logika atau alasan oleh seseorang yang belum mencapainya sendiri.
Buddhisme tidak menekankan pada keterlibatan pribadi pencipta dunia dalam pemahamannya mengenai iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, munculnya manusia, kiamat, hingga keselamatan atau kebebasan.[5] Alih-alih fokus pada suatu Tuhan personal, ibadah umat Buddha lebih fokus pada keyakinan kepada Triratna, perenungan Empat Kebenaran Mulia, dan penerapan Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk mencapai Nirwana.[6]